Minggu, 03 April 2011

P.A.C.A.R.A.N, nggak atau iya?

Bismillahirrohmanirrohiim

Saya ambil dari blog kakak kelas saya, Nur Afifah. Jazakillah ka saya banyak belajar dari blog kakak:)

Suatu pagi, belasan menit sebelum bel masuk berbunyi di SMA-ku, seorang teman melontarkan pertanyaan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya,

“Fah, lo mau gue cariin pacar, gak?”

Hah? Dengan muka bingung, lantas berganti nyengir aku menjawab,

“Gak usah, Lin, nih aku dah punya banyak,” seruku sambil menarik buku-buku semi tebal dari dalam tas.

Gantian temanku yang cengengesan. Dasar.

Kali lain, teman seperjalanan pulangku bertanya, “Fah, kenapa sih kamu gak mau pacaran?”

Sambil berusaha menghindari genangan air di depan pasar Pondok Labu, aku berseru pelan,

“Kenapa ya, Sri?”

“Yee, orang nanya balik nanya.”

So?

Ini prinsipku, Sri. Tahu kan, kalau Allah sudah menjanjikan dalam Al Qur’an, perempuan yang baik hanya untuk laki-laki yang baik. Sepanjang kehidupanku, aku percaya janji Allah selalu benar.

Gini lho, kalau misalkan orang yang kita sayang menjanjikan sesuatu pada kita, kita akan dengan senang hati percaya, kan. Karena ibu, ayah, atau siapapun yang menyayangi kita akan berusaha menepati janji itu untuk membahagiakan kita. Kalaupun mereka tidak bisa menepatinya, mereka yang akan pertama kali bersedih karena keterbatasannya. Kalau manusia saja begitu, Allah pasti gak akan pernah menyalahi janji-Nya, karena Ia adalah Dzat yang paling mencintai kita, dan Ia adalah Penguasa Mutlak Alam Raya ini, Ia akan selalu memberi tanpa batas, tak ada yang bisa membatasi kekuasaan-Nya. Kalau Ia sudah berjanji, maka itu adalah sebenar-benarnya janji.

Perempuan yang baik hanya untuk laki-laki yang baik, berarti Allah sudah memudahkan kita, kan? Kalau mau dapat pasangan yang baik, berarti yang harus kita lakukan adalah menjadi baik terlebih dahulu. Kalau misalkan mau dapat pasangan yang hafal Qur’an, misalnya, kita juga harus mulai menghafal Qur’an. Atau kalau mau dapat pasangan yang pengertian, kita juga harus mulai menjadi orang yang pengertian. Karena saat seseorang menetapkan standar pada dirinya, hal itu akan mempengaruhi pilihan-pilihannya di saat ia harus memutuskan sesuatu. Iya, kan?

Makanya, aku lebih memilih membenahi diriku dulu, membangun kualitas-kualitas yang kusukai, jadi nanti pas memang sudah waktunya, aku sudah lebih siap. Lagian kalau pacaran, kita jadi kehilangan waktu untuk membangun hal-hal itu, kan? Kita lebih banyak tersibukkan dengan hal-hal yang sekarang, mungkin iya kadang-kadang ada yang memikirkan untuk ke depannya, tapi itu juga gak menjamin. Banyak orang yang tidak menjadi dirinya saat menjadi seorang pacar. Ia berusaha terlihat sempurna, atau paling tidak ia hanya ingin sisi baiknya saja yang terlihat. Kalau gak, siapa coba yang mau jadi pacarnya, hehe. Tapi kalau menikah kan beda, saat kita menikahi seseorang, kita gak bisa memilih hanya menikahi sisi baiknya, harus sepaket sama sifat-sifatnya yang lain. Lho, jadi jauh gini ya ngomongnya, hehe.

Jadi, menurutku, kalau orang lain berdalih, “Saya pacaran untuk bisa lebih mengenal pasangan saya,” rasanya itu bukan jalan yang pas.

Lagipula, aku gak mau mencari sesuatu yang baik untukku dengan cara yang tidak baik menurut-Nya.

Pandangan aja harus dijaga, apalagi berdua-duaan. Tapi bukan artinya pacaran gak boleh. Pacaran boleh, kok, nanti kalau udah nikah, hehe..

Mungkin iya, kita bisa dapat pasangan yang terasa ‘cocok’ untuk kita, tapi aku takut, kalau Allah gak suka caraku untuk mendapatkannya, aku bisa kehilangan nilai keberkahan di dalamnya. Padahal, hidup kita di sini kan untuk mendapat cinta-Nya kan?

Saat itu, aku ingat salah satu kalimat yang sempat terpikir di baris otakku,

Pangeran akan datang jika sudah tiba saatnya. Sebelum waktu itu tiba, pangeran dan putri harus saling menjaga dirinya masing-masing, supaya pertempuan itu lebih sempurna.

2 komentar:

  1. ka hani, nisa ngutip kata2nya yaa buat di blog nisa hehe nisa suka banget baca yang ini hehe

    BalasHapus
  2. boleh2 silahkan, ini juga ka Hani ngutip dari punya kakak kelas:)

    BalasHapus